Untuk menetapkan hari raya, pemerintah memakai
patokan imkanur rukyah, yakni batas minimal hilal memungkinkan dilihat dengan
pengamatan mata. Batas tersebut adalah 2 derajat. Bila masih di bawah
ketinggian 2 derajat ini, berarti secara teoritis hilal mustahil diamati
dengan mata. Sebaliknya bila lebih, maka secara teoritis hilal sudah
memungkinkan untuk diamati dengan mata. Perhitungan teoritis ini penting karena
patokan pemerintah sebenarnya adalah rukyah (pengamatan mata), sedangkan hisab
hanya membantu saja. Kalau ada yang melihat hilal berarti besoknya hari raya
kalau tidak ada ya besoknya belum hari raya. Selengkapnya silakan baca ini.
Adapun Muhammadiyah– setidaknya sampai tulisan ini
dibuat– memakai patokan wujudul hilal atau adanya hilal di atas ufuk. Patokan
ini berarti berapa pun ketinggian hilalnya, meskipun nol koma sekian derajat,
asal sudah di atas ufuk/horizon (gampangnya: hilalnya tenggelam belakangan dari
matahari setelah waktu konjungsi) berarti malam itu sudah bulan baru atau sudah
1 Syawal sehingga besoknya hari raya
bisa dilakukan. Dengan kata lain, patokan yang dipakai Muhammadiyah adalah
hisab murni sedangkan rukyah hanyalah pendukung saja yang tidak harus
diperlukan. Yang penting adalah hakikat posisi hilal/bulan baru secara
astronomis, tanpa mempedulikan hilal tersebut bisa teramati mata atau tidak.
Manakah di antara kedua patokan tersebut yang paling
tepat? Untuk menjawabnya, perlu kajian dari sisi hadith dan rasio seperti
berikut:
A. Kajian hadith
terhadap penetapan hari raya.
Terlebih dahulu, marilah kita merujuk petunjuk
Rasulullah Muhammad saw. dalam hal penetapan hari raya. Rasul bersabda dengan
berbagai redaksi berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ،
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa
karena melihatnya. Kalau terhalangi atas kalian, maka sempurnakan bilangan
Sya’ban menjadi 30 hari. (Bukhari)
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن
غمى عليكم فأكملوا العدد
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa
karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka sempurnakan
bilangannya. (Muslim)
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن
غمي عليكم الشهر فعدوا ثلاثين
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa
karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka hitunglah jadi 30
hari. (Muslim)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ أَوْ ظُلْمَةٌ
فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ عِدَّةَ شَعْبَانَ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa
karena melihatnya. Kalau di antara kalian dan hilal ada penghalang berupa awan
atau kegelapan, maka sempurnakan hitungannya, yakni hitungan Sya’ban. (al-Nasa’i)
Selain redaksi itu masih ada redaksi lain, tapi
sangat serupa sehingga rasanya tidak perlu semuanya disebutkan untuk menyingkat
waktu.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bahwa bila
hilal terlihat pada malam ke 30, berarti esok harinya sudah lebaran yang
berarti puasanya hanya 29 hari saja. Akan tetapi, bila hilal masih tidak dapat
terlihat pada malam ke 30 karena terhalang sesuatu, berarti esok harinya, yakni
tanggal 30 masih harus berpuasa karena bulan yang bersangkutan harus digenapkan
menjadi 30 hari. Dalam kasus awal puasa
berarti Sya’ban digenapkan 30 hari, dalam kasus akhir puasa berarti Ramadhan
digenapkan 30 hari.
Dalam berbagai hadits di atas, yang oleh Rasulullah
disebutkan sebagai penghalang melihat/rukyat hilal adalah awan (Ghamm atau
Sahab), kegelapan (dhulmah) dan satu redaksi memakai kata (ghubbiya) yang
artinya terhalang dalam arti umum tanpa menjelaskan objek apa yang menghalangi.
Dengan begini berarti objek apapun yang menghalangi terlihatnya bulan, entah
itu awan, kegelapan, kesamaran, atau silau sinar matahari serta terlalu
tipisnya bentuk hilal–seperti bila tinggi hilal masih di bawah dua derajat–,
berarti hilal dianggap belum terlihat dan karenanya jumlah puasa harus
digenapkan 30 hari. Inilah yang menjadi landasan seluruh ormas Islam selain
Muhammadiyah dan akhirnya dikuatkan oleh keputusan pemerintah pada sidang
itsbat penetapan idul fitri tahun 2013 kemarin.
Berbeda dengan itu, Muhammadiyah tetap kukuh pada
pendiriannya bahwa meskipun hilal tidak dan bahkan tidak mungkin terlihat,
namun bila secara perhitungan/hisab sudah di atas ufuk/horizon setelah
terjadinya ijtimak/konjungsi, maka itu
sudah berarti lahirnya bulan baru dan puasa tidak perlu digenapkan menjadi 30
hari, namun cukup 29 hari saja. Landasan yang dipakai–yang juga dimunculkan
oleh perwakilan Muhammadiyah dalam sidang itsbat idul fitri tahun 2011
lalu–adalah redaksi hadits berikut:
الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا. فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Kalau kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kalau
kalian kalian melihat hilal, maka akhirilah puasa. Kalau terhalang awan atas
kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Majah)
لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا
تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فاقدروا له
Janganlah kamu berpuasa Ramadhan hingga kalian melihat
hilal dan janganlah kalian mengakhiri puasa hingga kalian melihatnya. Jika
terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Hibban)
Redaksi di atas tidak menyuruh untuk menggenapkan
puasa menjadi 30 hari, tapi memperkirakan atau menghitung hilal. Muhammadiyah
memahami ini sebagai memperkirakan atau menghitung ada atau tidaknya hilal
secara hakikat seandainya tidak ada penghalang. Dengan kata lain memakai hisab
untuk memperkirakan hilal.
Tepat atau tidak pemahaman Muhammadiyah ini? Saya
pribadi jelas mengatakan tidak tepat karena dua alasan. Pertama, pemahaman
seperti ini berarti kontradiksi dengan hadits-hadits sebelumnya di atas. Kedua, ada redaksi lain yang telah
menjelaskan maksud “perkirakan” itu, yaitu:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa
karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah jadi 30
hari. (al-Nasa’i dan Ibnu Hibban)
Jadi yang dimaksud adalah memperkirakan atau
menghitung jumlah hari genap menjadi 30 hari. Pemahaman seperti ini berarti
menafsirkan hadits dengan hadits lain, menafsirkan keterangan Nabi di satu
tempat dan waktu dengan keterangan Nabi di tempat dan waktu lain sehingga semua
cocok dan tidak ada pertentangan. Adapun pemahaman seperti yang dilakukan
Muhammadiyah berarti menafsirkan hadits/keterangan Nabi dengan akal pikiran
sendiri sehingga wajar bila hasilnya terlihat bertentangan dengan hadits lain.
(Buat yang merasa Muhammadiyah, peace dulu…. :-) ini diskusi bro!).
Tetapi, pemahaman Muhammadiyah itu dapat dikuatkan
dengan hadits berikut:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وإن
تشكوا لها فإن غم عليكم فأتموا ثلاثين
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa
karena melihatnya. Kalau kalian ragu melihatnya, kalau terhalang awan atas
kalian, maka sempurnakan hitungannya menjadi 30 hari. (Ahmad ibnu Hanbal)
Hadits di atas menyebut kalau ragu melihat hilal
karena berbagai faktor, maka perlu menyempurnakan hitungan. Dengan kata lain,
berarti kalau sudah tidak ragu lagi karena adanya bantuan teknologi saat ini
yang sudah sangat canggih dan meyakinkan, maka tidak perlu lagi menyempurnakan
hitungan jadi 30 hari, tapi cukup 29 hari saja. Sayangnya hadits dengan redaksi
ini lemah karena di dalam jalur periwayatannya ada Hujjaj Ibn Arthoh yang
lemah. Karena itu, hadits tersebut tidak bisa dipakai.
Yang di atas itu adalah kajian haditsnya. Lalu
bagaimana dari sudut pandang rasionya? Bukankah kalau hilal sudah benar di atas
ufuk/horizon setelah terjadinya ijtimak/konjungsi berarti sudah bulan baru?
Bukankah melihat dengan kepala itu untuk tahu dan meyakini, sedangkan untuk
tahu dan yakin itu sendiri tidak harus melihat bukan? Bukankah mata kepala bisa
salah lihat dan orang yang bersumpah melihat bisa saja bohong atau keliru
sedangkan perhitungan kontemporer menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan?
Bukankah bila menurut perhitungannya ramadhan hanya 29 hari tapi terhanyata
harus puasa 30 hari berarti puasa di hari lebaran yang jelas diharamkan dan
malah lebaran tanggal 2 Syawal yang aneh bin ajaib? Lagian bukankah Nabi
sendiri keseringan puasa 29 hari saja?
Wuihh… banyak pertanyaan yang harus dijawab, jari
sudah mulai capek, punggung mulai gak enak, tapi baiklah daripada saya tulis di
postingan lain di SitusWahab ini, mending langsung di sini saja.
Memang benar bila sudah di atas ufuk setelah ijtimak
berarti secara hakikat sudah bulan baru, tapi mulai kapan hitungan hakikat
seperti itu dipakai dalam ritual agama Islam yang mudah dan memang dimudahkan
untuk semua orang ini? Yang dipakai tak pernah yang hakikat-hakikat, tapi yang
mudah saja, yakni yang teramati dengan mata kepala. Lihatlah bagaimana waktu
zawalus syamsi (tergelincirnya matahari atau bergeser turunnya matahari dari
titik tertingginya) yang menandakan awal waktu solat dhuhur! Ukuran yang
dipakai bukan hakikatnya, tapi yang teramati oleh mata dari bumi ini. Oleh
karena itu, ukurannya dengan berpindahnya bayang-bayang benda tegak lurus ke
arah timur bukan dengan menghitung hakikat pergeseran matahari dari puncak
tertingginya yang hanya sepersekian detik itu. Lihatlah juga ukuran waktu
tenggelamnya lingkaran matahari di horizon yang jadi pedoman awal waktu
maghrib! Yang jadi ukuran bukan lingkaran hakikat matahari, tapi lingkaran
matahari yang tampak oleh mata manusia yang ukurannya lebih besar dari
hakikatnya. Begitu pula harusnya hilal diperlakukan, meskipun secara hakikat
sudah ada di atas ufuk, tapi bila tidak terlihat oleh mata, apalagi bila memang
mustahil dilihat secara teoritis karena berada di bawah standar imkanur
rukyah, berarti hilal dianggap belum
ada.
Untuk tahu memang tidak harus melihat dengan mata
kepala, tapi petunjuk Rasul adalah rukyat/melihat dengan mata kepala, bukan
lainnya. Tapi tentu saja, rukyat yang diterima hanyalah rukyat yang masuk akal
dan benar, yakni yang tidak bertentangan dengan teori hisabnya. Kalau rukyatnya
tidak masuk akal dengan mengatakan hilal di sebelah utara matahari padahal
harusnya di selatan matahari, hilal sudah terlihat padahal mestinya tidak
mungkin terlihat dan sebagainya, maka rukyat itu harus ditolak. Karena itu,
rukyat dan hisab harus dipakai bersamaan sebagai cek kebenaran satu sama lain.
Memakai rukyat saja memungkinkan salah, hisab saja juga tidak tepat secara
agama. Pemakaian kedua metode hisab dan rukyat ini secara bersamaan akan
berujung pada pedoman imkanur rukyah yang telah dipakai oleh pemerintah dan
Puasa 30 hari yang menurut hisab murni ramadhan-nya
hanya 29 hari itu bukan berarti puasa di hari raya yang diharamkan karena yang
diharamkan itu kalau sengaja puasa di hari yang diyakini sebagai hari raya,
bukan pada hari yang diyakini masih termasuk bulan ramadhan. Dengan logika
terbalik, berarti dapat dikata bahwa orang yang memakai hisab saja yang
meyakini bahwa puasa 29 hari padahal belum ada rukyat berarti berlebaran di
bulan puasa yang jelas diharamkan. Nah lo… Sebagian saudara saya, begitu pula
beberapa orang lain bertanya-tanya karena pada bulan Syawal tahun 1434 H/2013
ini bulannya sudah terlihat besar meskipun hari raya hanya berlalu dua hari,
tapi besarnya bulan seolah sudah berumur tiga hari? yang secara tidak langsung
meragukan keputusan pemerintah yang berlebaran telat satu hari dari
Muhammadiyah. Ya itu karena memang pada hakikatnya bulan saat itu sudah berlalu
3 x 24 jam (tiga hari), tapi sekali lagi yang dibuat patokan hari raya bukan
hakikatnya, tapi tampaknya hilal oleh mata.
Satu lagi, memang benar bahwa kebanyakan puasa Nabi
Muhammad hanya 29 hari saja dan hanya beberapa kali yang tercatat 30 hari. Tapi
tentu ini bukan patokan, yang menjadi patokannya adalah petunjuk Nabi sendiri,
bukan fakta bahwa di Arab sana dahulu pada masa Nabi hilal sering terlihat di
malam ketiga puluh.
Intinya, sudah bukan jamannya lagi mempertentangkan
hisab dan rukyat. Keduanya sama-sama punya kelemahan dan kelebihan, karena itu
harus dipakai bersamaan untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing. Penggunaan
keduanya secara bersamaan ada dalam teori Imkanur Rukyah yang selama ini
dipakai oleh pemerintah dan sebagian besar ormas Islam. Semoga kedepannya nanti
semua ormas dan tokoh masyarakat sepakat untuk menjadikannya sebagai pedoman
bersama hingga menjadikan semua golongan kompak dalam menetapkan hari raya,
lebih-lebih dasar pendapat ini bisa dibilang sebagai yang terkuat dan paling
komprehensif menampung semua dalil dan arahan Rasulullah. Akhirnya, bagaimana
pun alasannya, kebersamaan dan kekompakan mengikuti keputusan terbanyak
(pemerintah) tetap lebih indah.
Demikian Artikel ini dari saya, semoga bermanfaat.
*Catatan:
Yang dimaksud hisab dalam tulisan ini adalah hisab
hakiki kontemporer.
Penyebutan NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam
tidak berarti menomorduakan ormas-ormas Islam yang lain, tapi semata karena
keduanya adalah yang terbanyak dan untuk memudahkan klasifikasi dan penyebutan
saja.
No comments:
Post a Comment