Saturday 5 July 2014

HILAL DAN IMKANUR RUKYAH

RUKYATUL HILAL
Untuk menetapkan hari raya, pemerintah memakai patokan imkanur rukyah, yakni batas minimal hilal memungkinkan dilihat dengan pengamatan mata. Batas tersebut adalah 2 derajat. Bila masih di bawah ketinggian 2 derajat ini, berarti secara teoritis hilal mustahil diamati dengan mata. Sebaliknya bila lebih, maka secara teoritis hilal sudah memungkinkan untuk diamati dengan mata. Perhitungan teoritis ini penting karena patokan pemerintah sebenarnya adalah rukyah (pengamatan mata), sedangkan hisab hanya membantu saja. Kalau ada yang melihat hilal berarti besoknya hari raya kalau tidak ada ya besoknya belum hari raya. Selengkapnya silakan baca ini.
Adapun Muhammadiyah– setidaknya sampai tulisan ini dibuat– memakai patokan wujudul hilal atau adanya hilal di atas ufuk. Patokan ini berarti berapa pun ketinggian hilalnya, meskipun nol koma sekian derajat, asal sudah di atas ufuk/horizon (gampangnya: hilalnya tenggelam belakangan dari matahari setelah waktu konjungsi) berarti malam itu sudah bulan baru atau sudah 1  Syawal sehingga besoknya hari raya bisa dilakukan. Dengan kata lain, patokan yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab murni sedangkan rukyah hanyalah pendukung saja yang tidak harus diperlukan. Yang penting adalah hakikat posisi hilal/bulan baru secara astronomis, tanpa mempedulikan hilal tersebut bisa teramati mata atau tidak.
Manakah di antara kedua patokan tersebut yang paling tepat? Untuk menjawabnya, perlu kajian dari sisi hadith dan rasio seperti berikut:

A. Kajian hadith terhadap penetapan hari raya.

Terlebih dahulu, marilah kita merujuk petunjuk Rasulullah Muhammad saw. dalam hal penetapan hari raya. Rasul bersabda dengan berbagai redaksi berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalangi atas kalian, maka sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. (Bukhari)
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمى عليكم فأكملوا العدد
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka sempurnakan bilangannya. (Muslim)
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم الشهر فعدوا ثلاثين
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka hitunglah jadi 30 hari. (Muslim)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ أَوْ ظُلْمَةٌ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ عِدَّةَ شَعْبَانَ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau di antara kalian dan hilal ada penghalang berupa awan atau kegelapan, maka sempurnakan hitungannya, yakni hitungan Sya’ban. (al-Nasa’i)

Selain redaksi itu masih ada redaksi lain, tapi sangat serupa sehingga rasanya tidak perlu semuanya disebutkan untuk menyingkat waktu.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bahwa bila hilal terlihat pada malam ke 30, berarti esok harinya sudah lebaran yang berarti puasanya hanya 29 hari saja. Akan tetapi, bila hilal masih tidak dapat terlihat pada malam ke 30 karena terhalang sesuatu, berarti esok harinya, yakni tanggal 30 masih harus berpuasa karena bulan yang bersangkutan harus digenapkan menjadi 30 hari.  Dalam kasus awal puasa berarti Sya’ban digenapkan 30 hari, dalam kasus akhir puasa berarti Ramadhan digenapkan 30 hari.
Dalam berbagai hadits di atas, yang oleh Rasulullah disebutkan sebagai penghalang melihat/rukyat hilal adalah awan (Ghamm atau Sahab), kegelapan (dhulmah) dan satu redaksi memakai kata (ghubbiya) yang artinya terhalang dalam arti umum tanpa menjelaskan objek apa yang menghalangi. Dengan begini berarti objek apapun yang menghalangi terlihatnya bulan, entah itu awan, kegelapan, kesamaran, atau silau sinar matahari serta terlalu tipisnya bentuk hilal–seperti bila tinggi hilal masih di bawah dua derajat–, berarti hilal dianggap belum terlihat dan karenanya jumlah puasa harus digenapkan 30 hari. Inilah yang menjadi landasan seluruh ormas Islam selain Muhammadiyah dan akhirnya dikuatkan oleh keputusan pemerintah pada sidang itsbat penetapan idul fitri tahun 2013 kemarin.
Berbeda dengan itu, Muhammadiyah tetap kukuh pada pendiriannya bahwa meskipun hilal tidak dan bahkan tidak mungkin terlihat, namun bila secara perhitungan/hisab sudah di atas ufuk/horizon setelah terjadinya  ijtimak/konjungsi, maka itu sudah berarti lahirnya bulan baru dan puasa tidak perlu digenapkan menjadi 30 hari, namun cukup 29 hari saja. Landasan yang dipakai–yang juga dimunculkan oleh perwakilan Muhammadiyah dalam sidang itsbat idul fitri tahun 2011 lalu–adalah redaksi hadits berikut:
الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا. فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Kalau kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kalau kalian kalian melihat hilal, maka akhirilah puasa. Kalau terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Majah)
لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فاقدروا له
Janganlah kamu berpuasa Ramadhan hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian mengakhiri puasa hingga kalian melihatnya. Jika terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah. (Ibnu Hibban)
Redaksi di atas tidak menyuruh untuk menggenapkan puasa menjadi 30 hari, tapi memperkirakan atau menghitung hilal. Muhammadiyah memahami ini sebagai memperkirakan atau menghitung ada atau tidaknya hilal secara hakikat seandainya tidak ada penghalang. Dengan kata lain memakai hisab untuk memperkirakan hilal.
Tepat atau tidak pemahaman Muhammadiyah ini? Saya pribadi jelas mengatakan tidak tepat karena dua alasan. Pertama, pemahaman seperti ini berarti kontradiksi dengan hadits-hadits sebelumnya di atas.  Kedua, ada redaksi lain yang telah menjelaskan maksud “perkirakan” itu, yaitu:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau terhalang awan atas kalian, maka perkirakanlah jadi 30 hari. (al-Nasa’i dan Ibnu Hibban)
Jadi yang dimaksud adalah memperkirakan atau menghitung jumlah hari genap menjadi 30 hari. Pemahaman seperti ini berarti menafsirkan hadits dengan hadits lain, menafsirkan keterangan Nabi di satu tempat dan waktu dengan keterangan Nabi di tempat dan waktu lain sehingga semua cocok dan tidak ada pertentangan. Adapun pemahaman seperti yang dilakukan Muhammadiyah berarti menafsirkan hadits/keterangan Nabi dengan akal pikiran sendiri sehingga wajar bila hasilnya terlihat bertentangan dengan hadits lain. (Buat yang merasa Muhammadiyah, peace dulu…. :-) ini diskusi bro!).
Tetapi, pemahaman Muhammadiyah itu dapat dikuatkan dengan hadits berikut:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وإن تشكوا لها فإن غم عليكم فأتموا ثلاثين
Berpuasalah karena melihatnya, dan akhiri puasa karena melihatnya. Kalau kalian ragu melihatnya, kalau terhalang awan atas kalian, maka sempurnakan hitungannya menjadi 30 hari. (Ahmad ibnu Hanbal)
Hadits di atas menyebut kalau ragu melihat hilal karena berbagai faktor, maka perlu menyempurnakan hitungan. Dengan kata lain, berarti kalau sudah tidak ragu lagi karena adanya bantuan teknologi saat ini yang sudah sangat canggih dan meyakinkan, maka tidak perlu lagi menyempurnakan hitungan jadi 30 hari, tapi cukup 29 hari saja. Sayangnya hadits dengan redaksi ini lemah karena di dalam jalur periwayatannya ada Hujjaj Ibn Arthoh yang lemah. Karena itu, hadits tersebut tidak bisa dipakai.


Yang di atas itu adalah kajian haditsnya. Lalu bagaimana dari sudut pandang rasionya? Bukankah kalau hilal sudah benar di atas ufuk/horizon setelah terjadinya ijtimak/konjungsi berarti sudah bulan baru? Bukankah melihat dengan kepala itu untuk tahu dan meyakini, sedangkan untuk tahu dan yakin itu sendiri tidak harus melihat bukan? Bukankah mata kepala bisa salah lihat dan orang yang bersumpah melihat bisa saja bohong atau keliru sedangkan perhitungan kontemporer menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan? Bukankah bila menurut perhitungannya ramadhan hanya 29 hari tapi terhanyata harus puasa 30 hari berarti puasa di hari lebaran yang jelas diharamkan dan malah lebaran tanggal 2 Syawal yang aneh bin ajaib? Lagian bukankah Nabi sendiri keseringan puasa 29 hari saja?
Wuihh… banyak pertanyaan yang harus dijawab, jari sudah mulai capek, punggung mulai gak enak, tapi baiklah daripada saya tulis di postingan lain di SitusWahab ini, mending langsung di sini saja.
Memang benar bila sudah di atas ufuk setelah ijtimak berarti secara hakikat sudah bulan baru, tapi mulai kapan hitungan hakikat seperti itu dipakai dalam ritual agama Islam yang mudah dan memang dimudahkan untuk semua orang ini? Yang dipakai tak pernah yang hakikat-hakikat, tapi yang mudah saja, yakni yang teramati dengan mata kepala. Lihatlah bagaimana waktu zawalus syamsi (tergelincirnya matahari atau bergeser turunnya matahari dari titik tertingginya) yang menandakan awal waktu solat dhuhur! Ukuran yang dipakai bukan hakikatnya, tapi yang teramati oleh mata dari bumi ini. Oleh karena itu, ukurannya dengan berpindahnya bayang-bayang benda tegak lurus ke arah timur bukan dengan menghitung hakikat pergeseran matahari dari puncak tertingginya yang hanya sepersekian detik itu. Lihatlah juga ukuran waktu tenggelamnya lingkaran matahari di horizon yang jadi pedoman awal waktu maghrib! Yang jadi ukuran bukan lingkaran hakikat matahari, tapi lingkaran matahari yang tampak oleh mata manusia yang ukurannya lebih besar dari hakikatnya. Begitu pula harusnya hilal diperlakukan, meskipun secara hakikat sudah ada di atas ufuk, tapi bila tidak terlihat oleh mata, apalagi bila memang mustahil dilihat secara teoritis karena berada di bawah standar imkanur rukyah,  berarti hilal dianggap belum ada.
Untuk tahu memang tidak harus melihat dengan mata kepala, tapi petunjuk Rasul adalah rukyat/melihat dengan mata kepala, bukan lainnya. Tapi tentu saja, rukyat yang diterima hanyalah rukyat yang masuk akal dan benar, yakni yang tidak bertentangan dengan teori hisabnya. Kalau rukyatnya tidak masuk akal dengan mengatakan hilal di sebelah utara matahari padahal harusnya di selatan matahari, hilal sudah terlihat padahal mestinya tidak mungkin terlihat dan sebagainya, maka rukyat itu harus ditolak. Karena itu, rukyat dan hisab harus dipakai bersamaan sebagai cek kebenaran satu sama lain. Memakai rukyat saja memungkinkan salah, hisab saja juga tidak tepat secara agama. Pemakaian kedua metode hisab dan rukyat ini secara bersamaan akan berujung pada pedoman imkanur rukyah yang telah dipakai oleh pemerintah dan
Puasa 30 hari yang menurut hisab murni ramadhan-nya hanya 29 hari itu bukan berarti puasa di hari raya yang diharamkan karena yang diharamkan itu kalau sengaja puasa di hari yang diyakini sebagai hari raya, bukan pada hari yang diyakini masih termasuk bulan ramadhan. Dengan logika terbalik, berarti dapat dikata bahwa orang yang memakai hisab saja yang meyakini bahwa puasa 29 hari padahal belum ada rukyat berarti berlebaran di bulan puasa yang jelas diharamkan. Nah lo… Sebagian saudara saya, begitu pula beberapa orang lain bertanya-tanya karena pada bulan Syawal tahun 1434 H/2013 ini bulannya sudah terlihat besar meskipun hari raya hanya berlalu dua hari, tapi besarnya bulan seolah sudah berumur tiga hari? yang secara tidak langsung meragukan keputusan pemerintah yang berlebaran telat satu hari dari Muhammadiyah. Ya itu karena memang pada hakikatnya bulan saat itu sudah berlalu 3 x 24 jam (tiga hari), tapi sekali lagi yang dibuat patokan hari raya bukan hakikatnya, tapi tampaknya hilal oleh mata.
Satu lagi, memang benar bahwa kebanyakan puasa Nabi Muhammad hanya 29 hari saja dan hanya beberapa kali yang tercatat 30 hari. Tapi tentu ini bukan patokan, yang menjadi patokannya adalah petunjuk Nabi sendiri, bukan fakta bahwa di Arab sana dahulu pada masa Nabi hilal sering terlihat di malam ketiga puluh.
Intinya, sudah bukan jamannya lagi mempertentangkan hisab dan rukyat. Keduanya sama-sama punya kelemahan dan kelebihan, karena itu harus dipakai bersamaan untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing. Penggunaan keduanya secara bersamaan ada dalam teori Imkanur Rukyah yang selama ini dipakai oleh pemerintah dan sebagian besar ormas Islam. Semoga kedepannya nanti semua ormas dan tokoh masyarakat sepakat untuk menjadikannya sebagai pedoman bersama hingga menjadikan semua golongan kompak dalam menetapkan hari raya, lebih-lebih dasar pendapat ini bisa dibilang sebagai yang terkuat dan paling komprehensif menampung semua dalil dan arahan Rasulullah. Akhirnya, bagaimana pun alasannya, kebersamaan dan kekompakan mengikuti keputusan terbanyak (pemerintah) tetap lebih indah.
Demikian Artikel ini dari saya, semoga bermanfaat.

*Catatan:
Yang dimaksud hisab dalam tulisan ini adalah hisab hakiki kontemporer.

Penyebutan NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam tidak berarti menomorduakan ormas-ormas Islam yang lain, tapi semata karena keduanya adalah yang terbanyak dan untuk memudahkan klasifikasi dan penyebutan saja.

No comments:

Post a Comment

Buat Email | Copyright of "EMPERAN MASJID" TEMPAT KONGKOW NYA ANAK MASJID.
Adsense Indonesia
Adsense Indonesia
Adsense Indonesia
Adsense Indonesia